China Benteng, Nasibmu Kini

Kulitnya memang tidak lagi putih, matanya tidak lagi sipit. Bahasa yang digunakan sehari-hari juga sudah tidak menggunakan bahasa China. Namun komunitas benteng masih meyakini kalau dirinya adalah keturunan orang China. Walaupun secara dkonomi mereka berbeda dengan orang China pada umumnya.

Secara geografis, komunitas China benteng berada di tengah-tengah Kota Tangerang. Mereka tinggal di Bantaran Sungai Cisadane yang merupakan satu-satunya sungai terbesar yang mengalir membelah Kota Tangerang. Kampung Sewan, Kelurahan Mekarsari Kecamatan Neglasari ini bisa ditempuh hanya sekitar 20 menit saja dari Bandara Internasional Soekarno Hatta. Di kampung kecil inilah komunitas China benteng tinggal dan bertahan hidup seadanya.



Hingga kini ada sekitar 350 KK atau sekitar 1680 jiwa yang masih bertahan hidup di bantaran Kali Cisadane ini. Sebagian besar masyarakat China benteng bekerja sebagai pedagang penjual kue, kuli angkut, sopir, petani, jasa dan pekerjaan kasar lainnya. Mereka harus berjuang berkompetisi dengan yang lainnya untuk mendapatkan sesuap nasi dan sedijit tabungan untuk pendidikan anak-anaknya.

Rumah yang mereka tempati pun juga jauh dari layak. Beberapa dari mereka bahkan tinggal di rumah yang beralaskan tanah, berdinding bambu dan beratapkan jerami. Jika rumahnya sudah tembok, dindingnya juga tidak terlalu bagus. Entah mengapa tidak ada program dari pemerintah untuk melakukan renovasi rumah, bedah rumah atau semacamnya. Padahal banyak sekali program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan.

Dalam mendapatkan air bersih sangatlah sulit. Sumber air yang ada sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Airnya berwarna coklat, jangankan untuk konsumsi kebutuhan dapur, untuk mandi saja air itu sudah tidak layak. Dengan demikian, untuk keperluan dapur dan masak, mereka harus membeli air yang setiap galonnya dihargai Rp. 3000,-. Sedangkan untuk mandi dan kebutuhan di kamar mandi mereka mengunakan air sumur yang berwarna coklat itu.

“Mau bagaimana lagi lha adanya memang seperti itu, kalau menggunakan air bersih yang satu galon Rp. 3000,- itu ya duitnya dari mana. mending ditabung untuk membayar SPP,” ungkap Taufik seorang peranakan China yang masih duduk di bangku SD.

Saya kira mereka adalah saudara-saudara kita yang harus memiliki hak yang sama dalam berbangsa dan bernegara. Mereka orang China keturunan yang darah dadingnya Indonesia. Maka sudah menjadi kewajiban bangsa untuk memberikan kesejahteraan buat mereka. Namun sayang sekali, pemerintah hanya memenuhi perutnya sendiri, golongannya dan partainya. Mungkin jika kita bayangkan duit yang dikorupsi dari sektor pajak, wisma atlet, Century dan lain-lain dikelola untuk memperbaiki nasib China benteng ini, mereka bisa sedikit lebih baik. Atau pemerintah Kota Tangerang yang berhutang budi atas jasa leluhur China Benteng atas dibukanya hutan belantara menjadi Kota tangerang yang mereka tinggali saat ini.

Sekelumit Sejarah China Benteng

Komunitas China Benteng memang tidak memiliki Sertifikat Hak Milik atas tanah yang mereka miliki, apalagi Ijin Mendirikan Bangunan. Secara hukum, mereka memang tidak memiliki itu semua. Namun sampai hari ini, Komunitas China Benteng masih meyakini bahwa tempat yang mereka tinggali saat ini adalah tanah warisan dari leluhur mereka yang sudah ada di Tangerang semenjak awal abad 19.

Jika dilihat pada kitab yang mengulas sejarah sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), Komunitas China di Batavia, khususnya Tangerang sudah ada semenjak 1470. Hal ini ditandai dengan mendaratnya rombongan dari China yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung di muara Sungai Cisadane. Kitab ini mencatat bahwa ini adalah awal mula orang China datang ke Batavia.

Pasca 1470, eksodus orang-orang China ke Batavia semakin banyak dan mulai menguasai lini-lini ekonomi di Batavia. Kondisi inilah yang membuat Belanda lewat organisasi dagangnya VOC semakin geram terhadap etnis China. Dalam catatan Denis Lombard (2005) VOC melakukan pembantaian masal terhadap etnis tionghua di Batavia. Nah komunitas China benteng ini adalah sisa-sisa dari pembantaian itu yang selamat.

Setelah pembantaian itu, VOC dan masyarakat tionghua di Batavia membuat perjanjian damai pada 1682. Yang menyatakan bahwa wilayah Kota Batavia hingga sebelah Timur Cisadane merupakan milik VOC. Wilayah yang masih semak belukan diberikan kepada masyarakat Tionghua di Batavia untuk mengelolanya. Pada akhirnya merekalah yang menjadi penduduk awal di Kota Tangerang.

Dalam perkembangannya, banyak orang-orang Tionghua dari daerah lain yang datang ke sana. Mereka berbaur dengan masyarakat lainnya. melakukan perkawinan dengan orang Jawa, Bugis, Makasar dan banyak yang lainnya. maka tidak mengherankan jika mereka mengaku keturunan China tapi berkulit hitam legam, namanya China semisal Cheng Po, Tjui San dll namun sudah tidak bermata sipit. Generasi 60-70 an mungkin masih menggunakan nama-nama itu. Namun untuk generasi alay nama-nama itu sudah bergeser menjadi Andika, Taufik, Budi dll. Mungkin ini adalah pergeseran budaya China benteng atau sekedar strategi untuk bisa bertahan.

Hingga kini China benteng dan keturunannya masih mengugemi tradisi yang ditinggalkan oleh leluhurnya. Walaupun tradisi itu sudah berbaur dengan berbagai tradisi lokal lainnya. Perayaan Cap Go Meh, Tiong Ciu Pia, Pek Cun dan Pek Gwee Cap Go masih dilaksanakan. Dalam komunikasi sehari-hari panggilan encek, engkong, encim, koh untuk memanggil sesuai dengan strata umur masih berlangsung.

Kampung Sewan, 18 Maret 2012








 http://wisatajogjamu.blogspot.com